WAYANG
Alhamdulillah, rasa kangen terhadap pagelaran seni sunda wayang golek terobati sudah semalam. Tidak hanya aku, rupanya seluruh warga desa pun merasakan hal yang sama. Ini dapat disaksikan dengan berduyun-duyunnya mereka menyemut ke pusat pagelaran yang ada di Hulu Dayeuh. Betapa tidak, gaya hidup (life style) masyarakat sekarang karena pengaruh perubahan zaman telah menghilangkan beberapa sendi penyokong kebersamaan yang sekuat tenaga dilestarikan. Budaya pop, bahkan condong ke arah peradaban instan tidak terasa telah merenggut nilai-nilai berharga masyarakat pedesaan. Mereka lebih enjoy menikmati hiburan individualistis dengan berlama-lama melotot di depan layar kaca ketimbang berjamaah di masjid musholla. Pekarangan tempat bercengkrama sambil menikmati indahnya bulan kini sudah tinggal kenangan. Dan tak mungkin terbarukan kembali karena semakin menipisnya lahan pekarangan akibat ledakan penduduk yang tidak disiasati dengan kebijakan apik bidang ketataruangan.
Namun begitulah bola panas globalisasi telah merampas segalanya. Masyarakat desa yang dulu lungguh, sederhana, ramah tamah, dan gotong royong, kini telah berubah drastis menjadi sedikit angkuh, hedonis, chu-x dan individualistis. Aku yang berdiri termangu di persimpangan jalan menjadi begitu kaku entah apa lagi yang harus kulakukan. Mungkin diri ini pun merupakan bagian dari mereka yang terhempas oleh arus zaman. Bagiku selalu ada harapan untuk tetap eksis dalam satu haluan. yaitu keimanan yang jadi modal keselamatan.
 Pagelaran wayang golek nampaknya telah mampu menjembatani kembalinya ruh tanah leluhur untuk nyintreuk putra pertiwi agar sadar diri. Sadar diri bahwa dirinya adalah anak manusia yang lahir dan dibesarkan di desa tercinta. Sadar kondisi bahwa perubahan zaman telah merenggut nilai-nilai warisan budaya karuhun berupa kearipan lokal yang menjadi ciri khas masyarakat desa. Juga sadar situasi bahwa generasi penerus setelahnya tidak Assalamualaikum hanya anak baik biologis tiap individu, melainkan mereka adalah anak zaman. Dimana mereka menginjakkan kaki, di situ pula lingkungan ikut mempengaruhinya. Karena itu mereka (orang tua) pun harus sadar posisi bahwa peran utama terhadap anak-anaknya kini telah direnggut oleh gelinding bola perubahan. Kesadaran tersebut hendaknya menimbulkan semangat baja untuk mempertahankan eksistensi nilai-nilai luhur
 warisan para leluhur.

Nilai luhur yang dimaksud adalah hasil jerih payah para pendakwah yang telah menyelamatkan umat dari kejahiliyahan menuju terang benderang cahaya islam. Puncak kesadaran utama adalah ketika kita bisa mengambil hikmah dari pagelaran wayang tersebut. Wayang bisa hidup karena digerakkan oleh dalang, begitu pula manusia tidak berdaya sama sekali tanpa tanpa izin
 dan kuasa Alloh Swt.
Previous
Next Post »