Apa Keteladan yang Anda Lakukan Dalam Mendidik Anak Zaman Now?

Anda masih teringat ceramah-ceramah muballig legendaris KH Zaenuddin MZ?

Alhamdulillah... walaupun beliau telah kembali kepada Allah meninggalkan alam dunia yang fana ini. Namun keharuman nama besarnya seolah tak ada yang menandingi. Rasa-rasanya retorika orasi beliau begitu sempurna. Belum ada yang sepadan dengan beliau. Itu sih penilaian saya pribadi. Mungkin anda juga menilai begitu ya?

Apa buktinya? Sederhana saja, lihat saja Musyabaqah Syarhil Qur’an (MSQ) atau lomba pidato tentang isi kandungan Al-Qur’an. Rata-rata para pensyarah mengadopsi gaya orasinya almarhum KH Zaenudin MZ.  Mana ada yang nurutan gaya Aa Gym, hehehe. Semoga beliau mendapatkan kenikmatan di sisi Allah Swt dan para muballigh lainnya di mana pun berada selalu mendapat perlindungan dari Allah swt dalam menjalankan tugas risalah ini.

Oh iya sebenarnya banyak cuplikan ceramah beliau yang membuat hati ini terrenyuh. Salah satunya ialah ketika beliau menceritakan Sayyidina Ali RA yang saat itu tengah menjadi Khalifah (Presiden kalau jaman sekarang). Singkatnya sang khalifah didatangi oleh seorang rakyatnya yang mengeluhkan kondisi masyarakat pada saat itu. Sekaligus membandingkan dengan kondisi masyarakat pada saat pemerintahan sebelum beliau menjabat.

Adapun kutipan nya kurang lebih seperti ini, “Ya Amirul Mu’minin, kenapa kondisi masyarakat sekarang carut-marut gak karuan. Sangat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat pada pemerintahan sebelum Anda?”

Pertanyaan bernada keluhan dan semi menyudutkan pemimpin tersebut ditanggapi dengan cerdas oleh sang khalifah, “Kondisi sekarang seperti ini, karena rakyat yang saya pimpin seperti anda. Sedangkan kondisi zaman dulu, rakyat yang dipimpinnya seperti saya.”

Secara tidak langsung sang khalifah ingin mengajak rakyatnya tersebut introspeksi diri (muhasabah). Karena boleh jadi kondisi yang dianggap salah itu bukan sepenuhnya salah orang lain, baik itu pemimpin atau siapa pun. Boleh jadi kita yang pandai menyalahkan lah yang benar-benar bermasalah.

Analogi mudahnya seperti bermain bola saja. Biasanya penonton hanya pandai menilai, menyalahkan, bahkan mencaci-maki pemain. Padahal jika dirinya yang disuruh main belum tentu bisa main sebagus yang ia tuntut terhadap pemain yang dicaci-maki tersebut.

Nah, dari sepenggal kisah hikmah Sayyidina Ali RA dan analogi bola tersebut sebenarnya bisa kita petik banyak hikmahnya. Salah satunya dalam hal mendidik anak-anak.

Terkadang keegoisan orang tua lah yang luput dari tuduhan. Sementara orang tua lebih banyak menuntut anak-anak untuk sempurna sesuai harapannya. Misalnya tidak sedikit orang tua yang menyuruh anaknya untuk melaksanakan shalat, sementara dirinya tidak memberikan keteladanan yang nyata. Termasuk di dalamnya menuntut anak untuk rajin mengaji, sementara dirinya sendiri melupakan Al-Qur’an. Bahkan melupakan guru-guru yang mengajarkan anak-anaknya mengaji.

Memang bukanlah hal yang keliru kalau orang tua menyuruh dan menuntut agar anaknya melakukan kebaikan seperti itu. Tetapi di dalam diam sang anak pun mulai bisa menilai Anda. Apakah anda sebagai orang tua bisa memberi keteladanan atau justru hanya sebantas memerintah.

Mungkin diantara orang tua ada yang memberikan alibi  kenapa dirinya tidak bisa menjadi teladan. Entah karena kurang percaya diri dengan kemampuannya mengaji dan praktek ibadah, atau karena alasan lainnya. Hal itu pun sebenarnya tak perlu menjadi alasan. Karena di zaman sekarang ini ada banyak cara untuk menjadikan diri anda teladan di mata anak-anak.

Dalam hal mengaji misalnya anda bisa membuktikannya kepada mereka dengan selalu berusaha hadir dalam majelis ta’lim baik rutinan maupun insidental. Dan juga tidak usah malu untuk belajar kepada ustadz/kiyai secara personal kalau memang Anda perlu belajar.

Mendengar kisah dari saudara yang merantau di Jawa, saya sendiri merasa salut. Bagaimana dia mendapati orang-orang di tanah jawa mau belajar mengaji abatasa kepada saudara saya tersebut meskipun usia sudah renta, walaupun berkedudukan sebagai seorang kepala sekolah. 

Saya pikir di daerah sekitar saya tinggal belum ada orang tua yang bersemangat belajar mengaji sehebat ini.

Untuk mengambil hikmah ini, mau tidak mau teringat jawaban cerdas imam Ali tadi. Jadi, jika saat ini kita mendapati anak-anak seperti sulit dikendalikan. Bisa jadi, kitanya sendiri yang tidak memberikan keteladanan.

Padahal kalau kita mau belajar kepada para orang tua kita yang berhasil mendidik kita, maka kuncinya keteladanan. Coba ingat-ingat bagaimana orang tua kita merutinkan yasinan setiap jumat. Bagaimana mereka merutinkan untuk berjamaah di tajug dan sebagainya.

Bahkan, kalau kakek saya setiap sore bakda ashar beliau selalu rutin tilawah atau tadarusan. Tidak hanya di bulan ramadhan. Meskipun kadang menggelitik, beliau duduk dikursi, tangan memegang mushaf Al-Qur'an, kacamata tebal menempel di matanya. Sementara di depannya ada siaran berita dalam televisi hitam putih jaman itu. 

Bayangan seperti itu tidak mungkin bisa dilupakan. Intinya beliau memberi keteladanan untuk berinteraksi dengan alquran secara rutin.

Mari kita renungkan, keteladanan apa yang akan kita ajarkan kepada anak-anak kita di zaman now ini?

Previous
Next Post »