Insya Allah, Dari Madrasah [Kan] Kuukir Sejarah

Tahun 1997. Mungkin sejak saat itu aku berkenalan dengan kata ‘Madrasah’. Tepatnya ketika aku menginjakkan kaki di sebuah kampus bernama Madrasah Tsanawiyah Negeri Kadugede. Sebagian teman-temanku sering menjuluki kampus kami ini sebagai MTs Nekad. Pada waktu itu, mayoritas anak-anak sekolah di kampungku menilai siswa MTs Nekad sebagai manusia buangan dari sekolah umum sederajat yang katanya lebih maju dan bergengsi. Penilaian miring seperti itu menjadi cambuk motivasi buatku. Aku ingin membuktikan, bahwa siswa madrasah bisa sejajar dengan sekolah umum, bahkan bisa lebih baik dari mereka dalam segala bidang. Kami punya banyak nilai plus. Pikirku. Hanya tinggal menumbuhkan kemauan saja, kami pasti juara.

Bicara masalah juara, tersungging senyuman renyah dibibirku. Terbayang dibenakku momen-momen bersejarah dalam hidupku. Aku yang dulu kurus kering, pernah menyabet berbagai gelar juara dalam perlombaan yang diadakan kakak-kakak PPM dari Ponpes Darunnajah Jakarta. Mulai dari juara MTQ, juara kaligrafi, baca puisi sampai lomba makan krupuk. 

Tak hanya sampai di situ, tradisi juara pun aku teruskan dalam kancah akademik di Sekolah Dasar bahkan berlanjut hingga di madrasah, baik ketika belajar di MTs Nekad maupun di MAN 1 Brebes. Padahal sebelumnya, aku adalah anak yang enggan bersekolah. Tidak cukup satu kali aku didaftarkan ke sekolah. Mogok berkali-kali. Hingga akhirnya hidayah itu pun datang padaku. Aku jadi orang yang amat gandrung pada dunia pendidikan. Pendidikan untuk peradaban. Ini semua bermula dari jasa seorang kakek sang inspirator hidupku.

Adalah dia Haji Ahmad Muslim. Beliau kakekku dari jalur ibu. Beliau adalah orang tua yang mampu membaca sasmita. Beliulah orang yang pertama mau mengerti tentang arti potensi yang kumiliki. Beliau orang yang berani jujur memuji ketampananku, disaat tak ada seorang pun yang melirikku. Beliau yang mengajariku tentang arti ketaatan kepada Allah. Tanpa harus banyak berkata-kata beliau ajarkan betapa pentingnya ibadah shalat. 

Di saat orang lain terlena dengan urusan dunianya, aku sering menyaksikan beliau shalat beralaskan batu, jerami atau daun pisang yang ada di sekitar sawahnya. Sungguh itu sebuah pendidikan berharga bagiku. Mendidik dengan keteladanan. Beliau pula yang pertama kali mengakrabkan aku dengan madrasah. Sayang sekali, Allah menjemputnya, disaat bunga-bunga intelektualitasku baru merekah di kampus Bumi Siliwangi. 

Menara Masjid Al Furqon menjadi saksi kegamanganku disaat aku mendengar kabar innalillahi wa inna ilaihi raji’un dari Hape jadulku. 

Sedih.

Kasih sayangnya padaku tak pernah diragukan lagi. Jerih payahnya usaha, peras keringatnya bertani, hampir semua tumpah untuk memperjuangkan pendidikanku. Masa depanku. Tujuannya agar aku menjadi pioneer sukses dalam keluarga. Beliau juga yang menitipkan aku ke madrasah. Begitu pula digiringnya aku ke guru ngaji. “Sholat, sakola, ngaji, ushalli dengan usaha, sholat dengan silat, tivi mah tipu”. Itulah kata-kata yang sering kutangkap darinya, terlontar dari lisannya yang mulia. Dengan kata-kata tersebut beliau mengingatkanku agar taat beribadah, hidup seimbang, dan jangan terlena dengan dunia.

Tak henti-henti beliau mendo’akanku. Aku dapatkan fakta tersebut setiap hari, ketika hendak pergi sekolah atau mengaji. Nyaris aku bosan menciumi tangannya, karena beliau selalu berlama-lama memegang tanganku. Pada waktu yang sama, butiran hikmah do’a-do’a keluar dari lisannya bak butiran embun penyejuk yang menetes lembut memenuhi ubun-ubunku. Aku merasakan untaian kata beliau tidak hanya keluar dari lisan semata, tetapi memancar dari hati yang terdalam. Tulus. Ikhlas. 

“Diajar sing rajin, sing jadi jalma sholeh, sing jadi jalma berhasil, sing jadi jalma berharga, sing luhur darajat…” (Belajar yang rajin, semoga menjadi orang yang sukses, semoga menjadi orang yang berharga, semoga menjadi orang yang tinggi derajatnya …). Kalimat-kalimat tersebut selalu mengalir menyirami kegersangan jiwa dan menguatkan sekeping hatiku yang entah akan kubawa kemana. Aku tak tahu.

Namun semakin lama aku semakin menyadari. Ternyata untaian do’a beliau telah merasuk ke alam bawah sadarku. Bahkan telah mengkristal menjadi motivasi intrinsik yang mampu mengubah hidupku, membuka jalan pikiranku, menggerakkan setiap langkahku untuk melaju menjemput “wahyu” kesuksesan yang kutunggu. 

Terimakasih Abah. Alhamdulillah Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu, Engkau telah mengirimkan malaikat penolong seperti Abah. Semoga di alam nun jauh di sana, Abah termasuk orang-orang yang sholeh, sukses, berharga di sisi Allah, berderajat tinggi, diampuni segala dosa dan mendapatkan kedudukan yang terpuji. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. ‘Ala hadzihi niyah nas’alukal ijabah Al Fatihah….
(terimakasih atas ketulusan Anda membacakan Al-Fatihah sebagai do'a bagi almarhum)
................................................................................................................

“Surat Al Fatihah artinya pembuka, tujuh ayat. Bismillahirrahmanirrahim…”. Begitulah ucapan serentak para siswa madrasah setiap kali memulai muraja’ah hafalan juz ‘ama yang kami kemas dalam mata pelajaran BTQ, Baca Tulis Al Qur’an atau Bimbingan Tilawah Al Qur’an. Aku yang dulu terkesan dengan romantika belajar di madrasah, kini Allah menakdirkanku untuk kembali menularkan virus-virus kesuksesan kepada para siswa madrasah.

Madrasah Tsanawiyah Negeri Hantara. (Kini berubah nomenklatur menjadi Madrasah Tsanawiyah Negeri 12 Kuningan). Ini adalah nama lembaga tempatku mengabdi saat ini. Letaknya nun jauh dari ibu kota, berada di pedalaman wilayah kabupaten Kuningan, Jawa Barat. 

Nuansa hijau perbukitan yang mengelilingi kampus kami menawarkan kesegaran. Lambaian daun-daun seolah mengajak kami untuk selalu menyegarkan pikiran, menyegarkan ide-ide, menyegerakan tobat nasuha, dan mengasah kreativitas. Pendeknya, alam menjadi inspirasi bagi kami untuk selalu menyegarkan semangat belajar. 

Tidak hanya bagi siswa, belajar pun sesungguhnya kebutuhan para pendidik dan pengajar. Aku teringat kata-kata bijak, “Jangan mau mengajar kalau tidak mau belajar”.

Salah satu hal penting dalam belajar adalah harus tadarruj, step by step, dimulai dari hal yang mendasar, kemudian bertahap naik ke tingkatan berikutnya. Inilah diantara landasan kami dalam pembelajaran. Al Qur’an adalah asas utama ilmu pengetahuan seorang muslim. Menghafalkannya menjadi bagian tidak terpisahkan dalam membentuk karakter siswa. Paling tidak, para siswa lulusan madrasah kami diharapkan memiliki hafalan Al Qur’an minimal satu juz. Mudah-mudahan hafalan tersebut menjadi bekal bagi mereka untuk meraih sukses dikemudian hari.

Harapan sukses itu ternyata tidak harus menunggu lama. Hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, pengalaman kami mengakrabkan siswa terhadap Al Qur’an dengan metode Ummi telah terlihat hasilnya. Para siswa MTsN Hantara menjadi lebih terarah dalam ibadah. Waktu Dhuha, masjid mungil di sekolah kerap dipenuhi para siswa untuk shalat dhuha dan membaca Al Qur’an. Lebih-lebih ketika waktu shalat dhuhur, mereka harus rela mengantri karena shalat berjama’ah dibagi beberapa shift. 

Keadaan ini merupakan sedikit fakta dari banyaknya dampak positif dari pembelajaran hafalan Al Qur’an di Madrasah kami. Padahal SDM pengajar Al Qur’an kami belumlah memadai jika dikaitkan dengan standar ideal pembelajaran Al Qur’an metode Ummi. Pada waktu itu hanya baru ada tiga orang tim pengajar BTQ, yakni Maman Sumari S.Pd.I (saat ini sudah mutasi ke Cigugur) yang menjadi perintis membawa metode Ummi ke madrasah kami, Engkan Rusmana, M.Pd.I, sang wakasek kurikulum, pengasuh ponpes DEQAH sekarang ponpes Al-Furqon, dan aku sendiri, hanya seorang alumni madrasah, yang telah berkesempatan mengembara menimba ilmu ke kampus Bumi Siliwangi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Pada suatu hari tatkala aku duduk di selasar masjid sekolah dan hendak memakai sepatu, tiba-tiba disampingku seorang siswa menyapa dan menyalamiku. “Assalamu’alaikum, Pak”. kujawab sambil tersenyum, “Wa’alaikumussalam warahmatullah, gimana Rudi sudah shalat?”. Rudi pun menjawab dibumbui dengan kesan terhadap shalatnya. “Alhamdulillah sudah, Pak. Ternyata shalat itu hanya sebentar ya, Pak”. Aku pun bersemangat mengapresiasi, “ Betul Nak, shalat itu tidak harus makan waktu lama, cukup tiga menit dikali lima kali dalam sehari. Sedangkan waktu hidup dalam sehari kan 24 jam. Jadi, sebenarnya lebih lama waktu di luar shalat. Makanya sesibuk apapun kita, tidak pantas meninggalkan shalat”. Dan kepala Rudi pun mengangguk ritmis tanda mengerti. “ Terima kasih, Pak”, katanya. 

Itulah salah satu dialog singkat yang menggambarkan kesadaran seorang siswa yang telah menikmati manisnya pembiasaan ibadah shalat berjama’ah yang dilakukan di madrasah kami. Semoga kami bisa istiqamah dalam menanamkan nilai-nilai dasar karakter positif dalam membentuk generasi muslim yang shaleh. Kita harus memulai dari yang terkecil dan mendasar untuk mendapatkan sukses yang besar. Tidak kecil kemungkinan kita akan mengukir sejarah. Sebuah kesuksesan gemilang pasti dimulai dari langkah pertama. Dari sinilah kita mulai. Dari madrasah.

Berbicara soal madrasah, aku sudah tak merasa asing lagi sekarang. Bagaimanapun juga aku adalah alumni madrasah. Bahkan sebagian besar romantika hidupku dimulai sejak aku mengenal madrasah. Ketika masa belajar di bangku MTs dulu, aku pernah menuliskan kalimat pendek pada tas selendang abu-abu yang telah lusuh. “I Have Fidelity and Hope”. Itulah kalimat ajaib racikanku sendiri yang sampai saat ini masih kuingat. Tulisan putih tip-x itu tak pernah terhapus dari memoriku, meski tas lusuh abu-abu itu tak kunjung kutemukan bekasnya. Pada waktu itu hatiku berbisik memaknai kata-kata tersebut, “Aku punya keyakinan dan harapan”. Ini adalah sebuah kalimat motivasi diri dari diksi yang kupilih sendiri.

Kalimat pendek itu menyiratkan ekspresi jiwaku akan sebuah optimisme dalam menghadapi masa depan dengan berbagai tantangannya. Berbagai tantangan yang terbayang saat itu ialah masalah keluarga, pekerjaan, pendidikan bahkan sampai masalah perjodohan pun sudah aku terapi dengan kalimat tersebut sejak aku duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Aku punya keyakinan dan harapan.

Benar nian kata seorang guru, “Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya”. Kalau hamba-Nya selalu berprasangka baik, berfikir positif, maka Allah akan menggerakkan semesta alam ciptaan-Nya untuk mendukung tercapainya harapan hamba-Nya tersebut. Bagiku, pengalaman hidupku  cukup menjadi bukti autentik tak terbantahkan akan kebenaran pernyataan tersebut. Filosofi hidup optimis seperti itu hendaknya dimiliki oleh setiap orang maupun lembaga yang mengharapkan kesuksesan, termasuk di dalamnya, madrasah.

Dulu, ketika semasa awal belajar di madrasah, aku merasakan bahwa madrasah baru bisa berdiri tanpa percaya diri. Pada waktu itu sebagian madrasah hanya menjadi tempat terdamparnya para siswa yang tidak berhasil menembus sekolah umum negeri yang difavoritkannya. Lain dulu lain pula sekarang. Kini madrasah sedang dan akan terus berbenah. Hasilnya sudah mulai terlihat. Sekarang masyarakat menilai madrasah tidak hanya sebagai sekolah alternatif, apalagi tempat pembuangan siswa yang kurang beruntung. Akan tetapi madrasah menjadi sebuah pilihan utama tempat pendidikan anak-anak mereka. 

Maka tidaklah berlebihan jika seorang pakar pendidikan Islam memprediksikan bahwa sekolah-sekolah umum nantinya akan gulung tikar, dan diambil alih peranan utamanya oleh madrasah. Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjanjikan dalam membangun karakter bangsa, sehingga sumber daya manusia Indonesia lebih berkualitas. Dan jika SDM bangsa kita sudah maju, maka kesuksesan gemilang kita akan terukir dalam tinta emas sejarah. Karena itu, Dari Madrasah [Kan] Kuukir Sejarah. Wallahu a’lam bishshawab.

Previous
Next Post »